Kamis, 29 September 2016

Kenapa Surabaya

Suramadu diliat dari Kenjeran Park
Aku sempat tinggal di Surabaya. Gak lama sih. Di sana aku kuliah.
Dulu kepikiran buat kuliah (lagi) di Surabaya tuh karena waktu itu, sekitar pertengahan tahun 2009, siaran TV lagi intens-intensnya ngasih berita tentang Jembatan Suramadu yang mau diresmikan.
Apalagi ketika gubernur kala itu, Soekarwo, diwawancara. Gaya bicaranya macam sales yang nawarin barang dagangannya, penuh semangat dan meyakinkan.

"Mak, keren kali bah!" pikirku. (gaya bicara anak Medan)

Dalam suatu kunjungan yang seakan tak ada putus asanya untuk melihat perubahan dariku, tulangku bilang bahwa kalau memang mau di luar kota, mending di Jogja aja.

"Orang-orangnya lebih halus, amang".

Belakangan baru nyadar, dan agak sedikit menyesal gak milih ke situ. Tapi, sudahlah.

Pendek cerita, Surabaya pun jadi pilihan.
Dan Tuhan pun mengizinkan aku ke sana dengan status sebagai mahasiswa baru. Di ITS, yang kalo dipanjangkan jadi Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
fyi banyak orang menganggap ITS itu Institut Teknologi Surabaya.

Pertama kali ke Surabaya, dan pertama kali naik kereta api di Jawa.
Waktu itu diantar sama bapak.

Sesampainya di sana, waktu pun berjalan. Begitu juga dengan suratan nasib.
Tuhan berkehendak lain.
Aku akhirnya kembali ke sisi barat pulau Jawa. Ke Jakarta, bukan Bandung.

Di sini aku mau cerita perjalananku dari Surabaya ke Jakarta.

Kala itu gerimis di Minggu siang menemaniku menuruni tangga asrama.
Kemudian dari balik kaca mobil, mata ini merekam wajah sekumpulan orang yang tengah ada di kantin asrama.
Menoleh ke arah Jurusan rasanya menjadi suatu hal yang wajib.
Lalu keluar gerbang kampus, untuk kemudian membelah ruko-ruko Mulyosari.

Tepat sebelum singgah untuk perpisahan di rumah abang dan menyantap olahan daging babi yang sangat lezat (entah apa namanya itu, macam babi kecap tapi gak manis), tanpa direncanakan terlebih dahulu mobil abang (yang satunya) memilih untuk meneruskan putaran rodanya ke arah laut.
Momen kecil yang entah kenapa butuh waktu empat tahun lamanya untuk dimengerti.

Seketika mobil sudah meluncur di Jembatan Suramadu.
Dan jreng, pemandangan dan perasaan indah melebur jadi satu (untuk sesaat).
Sekejap mata, kami sudah ada di Pulau Madura. Bukit dengan tanah merah kering pun menyambut.
Tak butuh waktu lama untuk memutar arah dan kembali ke Suramadu.

"Ini Suramadu, dan tengok di bawah itu, laut. Cemana, lus? Canggih ya, jembatan di atas laut!", seru abangku sambil menyetir.

Sampailah kami, dan makanan pun disantap. Tak lupa beberapa irisan mangga sebagai pencuci mulut, yang sebetulnya juga mencuci perutku.
Beberapa patah kata terucap, ritual khas orang Batak. Mandok hata namanya.

Lalu kaki ini melangkah, dan mendarat di Pasar Turi.
Sesaat sebelum naik ke kereta, bahu kiriku dipegangnya erat dan didekatkan ke bahu kirinya, lalu abangku berkata,

"Nanti kalo udah nyampe di Jakarta, entah ke rumah Namboru atau ....", (lembut dan sejuk kali kurasa)

Gumarang pun meluncur lambat di awalnya, dan lambaian tangan dari Dion kecil dan Irene (yang kerap kupanggil Cindy karena salah mengingat) kecil pun jadi hal terakhir yang kulihat di Surabaya sore itu.

Malam hari di tengah keheningan Pantura, aku, mamak, dan bapak membuka bekal.
Nasi putih, daging B2, timun yang sudah dipotong-potong dan air putih jadi teman pengobat lapar. Tambar lihe kalo kata orang Karo.
Baik sekali kalian. Terimakasih bang, terimakasih kak. Nambah loh aku waktu itu. :)

Malam ini baru kusadari akan hal berikut.
Suramadu yang jadi salah satu pendorongku ke Surabaya, ternyata benar-benar Tuhan kasih.haha.
Antara senang, dan sedih sih.. :)

Di kemudian hari, nantinya, motorku juga menyempatkan menjajal tanah Madura, tanpa naik kapal. Bukan olehku, tapi oleh dua kawanku.
Kuat juga ya! (I tell you, ini ambigu loh.haha..)



-Bandung, 16 Januari 2014-

Tidak ada komentar: